Rumah masa kecil, rumah yang tidak lagi kami miliki.

Lebih dari 32 tahun, rumah ini menjadi saksi bisu perjalanan hidupku, perjalanan ideologiku, tempat dimana kedua orangtuaku membesarkan aku dengan cinta, kasih sayang, dan prinsip kehidupan, dan kini aku semakin sadar, bahwa sesungguhnya apapun itu, kita tidak akan pernah bisa memiliki selamanya

Boy Hidayat.

Di rumah ini, kami sekeluarga menetap dan tinggal untuk pertama kalinya di Kota Bogor tercinta, lebih dari 30 tahun lalu, Papa membeli rumah ini, kami tumbuh kembang disini, tentunya banyak sekali kenangan yang ada di rumah ini.

Rumah ini adalah hasil jerih payah orangtuaku, yang sekarang ternyata harus tidak kami tinggali lagi.

Hal ini menyadarkan aku, bahwa apapun itu ternyata kita tidak akan pernah memiliki selamanya. Di rumah ini juga aku dibesarkan oleh kedua orangtuaku, membentuk aku seperti sekarang, di rumah ini Papa sering duduk di meja depan sambil baca koran di ruang tamu dan mengomentari kejadian-kejadian politik saat itu, di rumah ini juga aku sering berdiskusi dengan alm Papaku mengeni situasi politik.

Sekarang, aku baru sadar. rentan waktu yang sangat lama tidak berarti kita bisa memiliki selamanya. Terlalu banyak kenangan di rumah ini.

Mulai saat ini, Mama harus memulai hidup barunya di rumahnya yang baru nanti. Sedangkan aku, hanya bisa mengingat slide-slide kenanganku dengan rumah ungu ini.

Terima kasih rumah masa kecilku. baik-baik ya dengan penghuni yang baru.

Patah hati.

Pada sebuah kehidupan, kita akan merasakan fase dimana kita pernah patah hati. Ketika gue ditanya sama temen gue pada satu waktu, “Lo pernah gak patah hati terdahsyat?”, Gue diem untuk sementara waktu, mengingat-ingat sudah berapa kali gue jatuh hati seberapa kali juga gue patah hati.

“Patah hati terhebat” gue untuk pertama kalinya, ketika gue pernah suka banget sama temen kuliah, tapi gue ngga pernah ngomong, kalo gue suka banget. Lo pernah ga sih suka sama orang sampai ngga bisa ngomong aja gitu, ada perasaan takut, takut dia ngga suka, takut kitanya ngga pantes, gitu-gitu deh.

“Patah hati terhebat” gue waktu kuliah di FISIP UI. Dari semua pengalaman gue suka sama cewek, cuma sama dia doang gue ngga pernah berani ngomong!. TOLOL!. Ngga tau kenapa gue ngga bisa ngomong sama dia. “patah hati terhebat”-nya gue, cinta tak terbalas yang ngga pernah gue sampaikan.

Gue jadi inget kata Charlie Brown dalam novelnya, ngomong gini ;

“Nothing takes the taste out of peanut butter quite like unrequited love.”

Charlie Brown

Cinta tak terbalas, seperti rasa selai kacang dimulut. Selainya hilang, tapi rasanya masih melekat.

itu adalah patah hati terhebat gue.

Gue juga jadi inget, beberapa masalah yang datang ke kehidupan orang-orang yang sering cerita ke gue tentang “patah hati”nya.

Setiap orang pasti punya patah hati terhebat dalam hidupnya.

Baru-baru ini, salah satu temen gue sedang mengalami masalah dalam keluarganya, dia cerita ke gue bagaimana dia punya masalah dengan pasangannya.

Dan, gue….

Beberapa tahun lalu, jauh setelah gue patah hati waktu kuliah, TERNYATA gue mengalami PATAH HATI PALING HEBAT yang pernah mampir dalam hidup gue.

Patah hati terhebat gue, ketika gue harus berpisah dengan Puteri gue, Alena. Tau ngga sih sebagai seorang Ayah, sekarang gue merasakan gimana cintanya Alm Papa gue sama Kakak perempuan gue satu-satunya. Dan sekarang gue ngerasain jatuh cinta paling hebat sama anak perempuan gue. Tapi ketika masalah keluarga yang gue hadapin, membuat “patah hati paling hebat” dalam hidup gue.